ICW Bantah tidak Nasionalis soal Dana Asing
Jumat, 29 Juni 2012 | 17:37
Indonesia Corruption Watch (ICW)
membantah tuduhan bahwa lembaganya tidak nasionalis karena menerima
dana asing dalam program penanggulangan masalah merokok bagi anak di
Indonesia.
JAKARTA - BAROMETER RAKYAT NEWS: Kami sudah biasa menerima tuduhan seperti ini. Kalau kita cermati kita bisa lihat siapa yang lebih tidak nasionalis," ujar anggota badan pekerja ICW Ade Irawan di Jakarta, Jumat (29/6).
Sebelumnya sekretaris Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo), Zamhuri, menuduh ICW sebagai lembaga swadaya masyarakat bermental Inlander dan menjual idealisme karena menerima dana asing dari Bloomberg Initiative untuk program free kids control di Indonesia.
Zamhuri mempertanyakan program free kids control ICW yang diperoleh dari Bloomberg Initiative, apakah sesuai dengan identitas ICW yang notabene LSM yang bergerak di bidang pencegahan korupsi.
"Apakah ICW memahami Bloomberg Initiative sebuah lembaga yang bergerak di bidang apa, sasaran programnya apa, siapa yang diuntungkan dengan program itu?" tanyanya.
Zamhuri juga menanyakan apakah program kemitraan dengan Bloomberg Initiative merupakan bagian pencegahan dari korupsi.
Jika tidak, ICW disebut harus mengubah visi, program dan namanya, dan tidak lagi mengurusi antikorupsi.
"Mari sama-sama memikirkan jalan keluar masalah rokok yang sekarang menjadi konsen ICW," katanya.
Kritikan serupa juga dilontarkan oleh anggota komisi IX DPR Poempida Hidayatulloh, yang menilai sikap ICW yang mendapatkan aliran dana asing sebagai tindakan melacurkan diri.
"Apakah ICW yakin dana asing (Bloomberg Initiative) itu dana bersih, bukan hasil dari pencucian uang? Bagaimana ICW punya mekanisme mengecek bahwa dana asing itu mempunyai legitimasi? Jika kemudian pendana asing itu terindikasi atau terbukti mencuci uang, bagaimana ICW bisa mempertanggungjawabkannya?," tanya Poempida.
Poempida mengatakan pendana asing harus patuh pada aturan tidak boleh melakukan intervensi kebijakan.
"Agenda asing seperti ini sungguh sangat berbahaya untuk kedaulatan NKRI, apa bedanya kita dengan zaman dulu, kalau kita melacurkan diri pada asing," kata Poempida.
Tidak pernah menutup
Ade Irawan menambahkan ICW tidak pernah menutup-nutupi telah menerima dana dari Bloomberg Initiative untuk program free control di Indonesia.
"Core (inti) dari perjuangan kami tetap pemberantasan korupsi, tetapi program kami terkait rokok juga relevan dengan pemberantasan korupsi," kata Ade.
Menurutnya ICW mensinyalir bebasnya perusahaan rokok membanjiri media di Indonesia dengan iklan sehingga bisa dengan mudah menjangkau anak-anak, juga terkait kasus suap.
"Belum lupa kan dengan hilangnya ayat rokok di undang-undang kesehatan? kami juga mensinyalir hal tersebut terkait dengan korupsi, jadi tentu saja hal ini masih relevan dengan perjuangan kami," katanya.
Lebih jauh Ade mengatakan laporan keuangan hasil audit ICW bisa dengan mudah diakses masyarakat sehingga akan ketahuan jika ICW menyalahgunakan dana apapun.
"Kami sangat transparan kok, kalau mau lebih detil bisa minta data laporan keuangan kepada kami," katanya.
Ade menegaskan kalau ICW punya batasan yang jelas dalam menerima dana dari donor asing.
"Kami punya rencana strategi dan kami akan mengikuti renstra yang telah ditetapkan, tidak mungkin kami menerima dana dari donor seperti Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), atau pemerintah, karena kami mengawasi kinerja mereka," kata Ade..''(*)
JAKARTA - BAROMETER RAKYAT NEWS: Kami sudah biasa menerima tuduhan seperti ini. Kalau kita cermati kita bisa lihat siapa yang lebih tidak nasionalis," ujar anggota badan pekerja ICW Ade Irawan di Jakarta, Jumat (29/6).
Sebelumnya sekretaris Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo), Zamhuri, menuduh ICW sebagai lembaga swadaya masyarakat bermental Inlander dan menjual idealisme karena menerima dana asing dari Bloomberg Initiative untuk program free kids control di Indonesia.
Zamhuri mempertanyakan program free kids control ICW yang diperoleh dari Bloomberg Initiative, apakah sesuai dengan identitas ICW yang notabene LSM yang bergerak di bidang pencegahan korupsi.
"Apakah ICW memahami Bloomberg Initiative sebuah lembaga yang bergerak di bidang apa, sasaran programnya apa, siapa yang diuntungkan dengan program itu?" tanyanya.
Zamhuri juga menanyakan apakah program kemitraan dengan Bloomberg Initiative merupakan bagian pencegahan dari korupsi.
Jika tidak, ICW disebut harus mengubah visi, program dan namanya, dan tidak lagi mengurusi antikorupsi.
"Mari sama-sama memikirkan jalan keluar masalah rokok yang sekarang menjadi konsen ICW," katanya.
Kritikan serupa juga dilontarkan oleh anggota komisi IX DPR Poempida Hidayatulloh, yang menilai sikap ICW yang mendapatkan aliran dana asing sebagai tindakan melacurkan diri.
"Apakah ICW yakin dana asing (Bloomberg Initiative) itu dana bersih, bukan hasil dari pencucian uang? Bagaimana ICW punya mekanisme mengecek bahwa dana asing itu mempunyai legitimasi? Jika kemudian pendana asing itu terindikasi atau terbukti mencuci uang, bagaimana ICW bisa mempertanggungjawabkannya?," tanya Poempida.
Poempida mengatakan pendana asing harus patuh pada aturan tidak boleh melakukan intervensi kebijakan.
"Agenda asing seperti ini sungguh sangat berbahaya untuk kedaulatan NKRI, apa bedanya kita dengan zaman dulu, kalau kita melacurkan diri pada asing," kata Poempida.
Tidak pernah menutup
Ade Irawan menambahkan ICW tidak pernah menutup-nutupi telah menerima dana dari Bloomberg Initiative untuk program free control di Indonesia.
"Core (inti) dari perjuangan kami tetap pemberantasan korupsi, tetapi program kami terkait rokok juga relevan dengan pemberantasan korupsi," kata Ade.
Menurutnya ICW mensinyalir bebasnya perusahaan rokok membanjiri media di Indonesia dengan iklan sehingga bisa dengan mudah menjangkau anak-anak, juga terkait kasus suap.
"Belum lupa kan dengan hilangnya ayat rokok di undang-undang kesehatan? kami juga mensinyalir hal tersebut terkait dengan korupsi, jadi tentu saja hal ini masih relevan dengan perjuangan kami," katanya.
Lebih jauh Ade mengatakan laporan keuangan hasil audit ICW bisa dengan mudah diakses masyarakat sehingga akan ketahuan jika ICW menyalahgunakan dana apapun.
"Kami sangat transparan kok, kalau mau lebih detil bisa minta data laporan keuangan kepada kami," katanya.
Ade menegaskan kalau ICW punya batasan yang jelas dalam menerima dana dari donor asing.
"Kami punya rencana strategi dan kami akan mengikuti renstra yang telah ditetapkan, tidak mungkin kami menerima dana dari donor seperti Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), atau pemerintah, karena kami mengawasi kinerja mereka," kata Ade..''(*)
ICW: Awasi 3 Potensi Korupsi oleh Petahana
Ajang pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali menjadi salah satu instrumen bagi para pelakunya untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan.
Karena hal tersebut, peneliti senior Indonesian Corruption Watch (ICW), Ade Irawan, mengingatkan potensi korupsi dalam berlangsungnya ajang ini, terutama oleh para calon petahana.
"Mulai dari money politics, pengumpulan modal politik secara ilegal hingga korupsi politik adalah hal-hal yang berpotensi besar terjadi," kata Ade di Jakarta, Senin (4/6).
Dijelaskan Ade, ada tiga bentuk potensi korupsi yang harus diwaspadai, dan memang biasanya dekat dilakukan oleh calon gubernur petahana.
"Pertama, pengumpulan dana yang bisa berasal dari sumbangan (baik perorangan atau badan hukum) dan dana APBN atau APBD. Nah untuk dana APBD/APBN ini berpotensi dilakukan oleh incumbent (petahana)," katanya.
Adapun dua bentuk lainnya adalah penggunaan fasilitas negara (oleh petahana lagi) dan potensi membeli pemilih (politik uang) dan penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Kuat dugaan dana APBD sering dijadikan modal utama oleh para incumbent. Tidak jarang calon incumbent telah menentukan bentuk kegiatan dan arah proyek-proyek yang menjurus kampanye melalui SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah)," imbuhnya.
Ditekankannya, dua program yang paling sering diselewengkan adalah hibah dan bantuan sosial.
"Sudah jelas tujuannya adalah untuk peningkatan popularitas dan modal pemenangan bagi calon yang bersangkutan," jelasnya.
Sementara itu, praktik korupsi politik yang berpotensi dilakukan oleh petahana adalah melalui birokrasi pemerintah sebagai mesin pemenangannya.
"Politisasi birokrasi umumnya sudah terjadi setahun sebelum pemilu kada. Tidak jarang birokrasi dapat menerima tekanan berupa himbauan, ancaman, rotasi hingga pemutasian," kata Ade.
Lebih lanjut modus mobilisasi birokrasi bentuknya dapat berupa pertemuan dengan kepala SKPD dengan intensitas yang lebih sering, dan biasanya semua kegiatan SKPD melibatkan gubernur..''(*)
0 komentar:
Posting Komentar