Jumat, 22 Juni 2012

Mengapa Calon Independen Banyak Yang Kalah?

Gelombang reformasi telah merombak sistem demokrasi di Indonesia secara fundamental. Salah satunya adalah perubahan mendasar yang terjadi pada sistem pemilu di Indonesia. Sistem pemilu yang sebelumnya menggunakan sistem pemilu tidak langsung (perwakilan) dirombak menjadi pemilu langsung. Yaitu pemilu dengan sistem “one man one vote” (satu orang satu suara). Amandemen konstitusi mengamanatkan agar pemilihan pejabat publik (DPRD, DPR dan DPD) serta Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Aturan pelaksanaan pemilu untuk memilih anggota DPRD, DPR dan DPD tersebut dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Sementara itu, aturan pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Perombakan sistem pemilu tidak hanya terjadi di tingkat nasional (presiden dan wakil presiden) tetapi juga terjadi pada pemilu tingkat lokal. Konstitusi hasil amandemen kedua mengamanatkan agar pelaksanaan pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) juga dilakukan secara langsung. Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa gubernur, bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan propinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Kata demokratis ini oleh pemerintah diterjemahkan sebagai pemilihan secara langsung. Aturan pelaksanaan konstitusi ini kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Sejak saat itu, pemilihan gubernur, bupati dan walikota di seluruh Indonesia dilakukan secara langsung.

Menurut Undang-Undangan Nomor 32 Tahun 2004 ini persyaratan pencalonan kepala daerah hanya bisa bisa dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan.  Persyaratan pencalonan ini kemudian mendapat banyak protes dari masyarakat. Salah satu bekas calon kepala daerah yang gagal memenuhi persyaratan pencalonan kemudian melakukan gugatan judicial review terhadap beberapa pasal yang menyangkut persyaratan pencalonan Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut penggugat beberapa pasal dalam UU No.32 tahun 2004 dianggap menghilangkan makna demokrasi sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Hal ini dikarenakan pasal-pasal tersebut hanya memberikan hak kepada parpol atau gabungan parpol dalam mengusulkan dan atau mengajukan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Namun disisi lain tidak memberikan peluang bagi pasangan calon perseorangan.

Keputusan MK mengabulkan gugatan judicial review terhadap beberapa pasal yang menyangkut persyaratan pencalonan Pilkada. Melalui keputusan No 5/PUU-V/2007, MK menganulir UU 32/2004 pasal 56, 59 dan 60 tentang persyaratan pencalonan kepala daerah. Menurut MK, ketentuan UU No 32 Tahun 2004 yang menyatakan hanya partai atau gabungan parpol yang dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah, bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Dengan kata lain keputasan MK ini membuka babak baru bagi Pilkada di Indonesia yakni dengan diperbolehkannya calon perseorangan maju dalam Pilkada.

Untuk menindaklanjuti keputusan MK tersebut kemudian DPR melakukan revisi terbatas terhadap UU 32/2004 dan menerbitkan UU Nomor 12 Tahun 2008. Dalam undang-undang ini diatur secara rinci tentang berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon perseorangan. Pasal 59 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2008 menyatakan bahwa salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon perseorangan adalah berupa berupa bukti sejumlah dukungan dari masyarakat. Secara teknis bentuk dukungan resmi dari masyarakat ini dibuktikan melalui fotokopi kartu tanda penduduk (KTP).
Persyaratan Jumlah Dukungan
Calon Perseorangan
Jumlah Penduduk
Dukungan Minimal
Gubernur
s.d 2 juta jiwa
2 – 6 juta jiwa
6 – 12 juta jiwa
> 12 juta jiwa
6,5%
5%
4%
3%
Bupati/walikota
s.d 250 ribu jiwa
250 ribu – 500 ribu jiwa
500 ribu – 1 juta jiwa
> 1 juta jiwa
6,5%
5%
4%
3%
Kehadiran calon perseorangan dalam pilkada ini memunculkan berbagai pandangan di masyarakat. Sebagian kalangan merasa khawatir dengan kehadiran calon perseorangan. Menurut mereka kehadiran calon perseorangan akan merusak sistem demokrasi kepartaian di Indonesia. Kehadiran calon perseorangan dianggap akan mengancam eksistensi partai politik sebagai pilar utama sistem demokrasi di Indonesia. Dengan bahasa lain, kehadiran calon perseorangan adalah sebagai salah satu bentuk dari proses pengurangan peran partai politik (deparpolisasi) di Indonesia. 

Sementara itu, sebagian kalangan yang lain menyambut gembira atas kehadiran calon perseorangan ini dalam Pilkada. Kehadiran calon perseorangan ini justru dianggap sebagai salah satu solusi untuk memperbaiki sistem demokrasi yang telah dirusak oleh elit partai politik. Kehadiran calon perseorangan dianggap bisa mengurangi ekses negatif dari oligarkhi partai politik yang berlebihan. Kehadiran calon perseorangan ini juga dianggap bisa berdampak pada menurunnya praktik-praktik politik uang (money politics) yang terjadi dalam proses pencalonan di Pilkada. 

Ditengah memburuknya citra partai politik di mata masyarakat, calon perseorangan yang maju dalam Pilkada sebenarnya memiliki kesempatan yang besar meraih simpati masyarakat dan memenangkan Pilkada. Tetapi mengapa sejauh ini masih sangat sedikit Pilkada yang dimenangkan oleh calon perseorangan? Pilkada justru banyak dimenangkan oleh calon yang didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dan sebagian besar calon yang didukung oleh partai politik dan menang tersebut adalah berasal dari pejabat yang sedang berkuasa (incumbent). 

Ada beberapa sebab mengapa bakal calon perseorangan sering gagal memenangkan Pilkada. Pertama, jalur perseorangan selama ini hanya dijadikan jalur “keterpaksaan” atau jalur “skoci” oleh bakal calon Pilkada. Jalur perseorangan terpaksa dipilih oleh bakal calon karena setelah mereka melakukan loby-loby dan deal-deal politik yang menguras energi, waktu dan dana ternyata tidak ada satu pun partai yang mau memberikan tiket kepadanya. Bakal calon yang gagal mendapatkan tiket pencalonan dari partai hanya punya dua pilihan; mundur atau maju melalui jalur perseorangan. Dan disadari atau tidak, kegagalan mendapatkan tiket pencalonan dari partai tersebut memiliki dampak psikologis pada bakal calon perseorangan. Yang pada gilirannya berpengaruh pada semangat bertanding dari bakal calon perseorangan 

Kedua, jalur perseorangan selama ini lebih banyak dipakai oleh bakal calon yang kurang pontesial. Jalur perseorangan banyak dipakai oleh pemain-pemain “penggembira” saja.  Sementara pemain-pemain “utama” sudah “kontrak” oleh partai-partai politik. Hal ini bisa dipahami karena partai-partai yang memiliki tiket pencalonan tentu hanya memilih bakal calon yang memiliki peluang paling besar memenangkan Pilkada. Apalagi kini partai-partai politik sudah menggunakan instrumen survei untuk melihat siapa diantara bakal calon yang paling berpeluang memenangkan Pilkada. Dengan instrumen survei ini, peta politik di wilayah tersebut menjadi tergambar secara jelas. 

Ketiga, adanya kesalahan strategi pemenangan yang diterapkan oleh bakal calon perseorangan. Kesalahan strategi pemenangan ini sebenarnya juga tidak dimonopoli oleh bakal calon perseorangan saja tetapi juga banyak dilakukan oleh bakal calon dari partai politik. Hal yang paling mendasar dari kesalahan penggunaan strategi pemenangan adalah bakal calon tidak memilik grand design strategi pemenangan. Salah satunya, misalnya, bakal calon perseorangan sering betarung hanya bermodalkan naluri dan asumsi. Mereka tidak menggunakan metode-metode ilmiah untuk mempengaruhi pemilih. Mereka juga tidak memiliki data peta politik yang valid yang diperoleh secara ilmiah seperti survei di wilayah tersebut. Sehingga yang terjadi  mereka seperti bertempur di tengah hutan tapi tidak mengenal medan pertempuranya. Padahal seperti yang dikatakan oleh Sun Tzu, tokoh klasik strategi perang, bahwa; ”Kenali Diri Sendiri, Kenali Lawan; Maka Kemenangan Sudah Pasti Ada di Tangan. Kenali Medan Pertempuran, Kenali Iklim; Maka Kemenangan Akan Sempurna”.

Sebenarnya bila ada grand design strategi pemenangan yang tepat, bakal calon perseorangan memiliki kesempatan yang besar untuk memenangkan Pilkada. Karena berdasarkan pengalaman studi perilaku pemilih di berbagai wilayah di Indonesia menunjukan bahwa kini terjadi pergeseran perilaku politik pemilih. Pemilih sekarang cenderung bersikap lebih otonom dari partai politik. Sikap politik pemilih tidak selalu sebangun dengan sikap politik elit partai politik. Bisa kebijakan partai politik menyatakan mendukung calon si A tapi masyarakat tetap mendukung si B. Hal ini terbukti di berbagai Pilkada dan pemilu presiden di Indonesia. Calon yang didukung oleh partai besar ternyata kalah oleh calon yang didukung oleh partai-partai gurem atau calon perseorangan. 

Selain itu, biaya politik pencalonan melalui jalur perseorangan relatif lebih murah dibanding pencalonan menggunakan jalur partai. Logikanya, dengan semakin murahnya ongkos politik dalam proses pencalonan ini akan sedikit banyak menekan timbulnya korupsi dalam pemerintahan. Disisi lain, pemenang Pilkda yang menggunakan jalur perseorangan tidak akan merasa tersandera oleh deal-deal politik dengan partai politik. Sehingga pejabat yang menang melalui jalur perseorangan akan lebih merdeka dalam menyalurkan idealismenya dalam membangun wilayahnya. Dalam jangka panjang, dengan semakin banyaknya calon yang menang melalui jalur independen maka akan semakin meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.''(Jumat/22/6/2012. Direktur Eksekutif ISPP Institute Survei Perilaku Politik' Dendi Susianto)

Surve IPI; Calon walikota Makassar Masih Didominasi Muka Lama.''

MAKASSAR - BAROMETER RAKYAT NEWS: Hasil survei terbaru (IPI) Indeks Politica Indonesia Dikota Makassar untuk bakal calon walikota' menggambarkan masih didominasi muka lama untuk tingkat' Popularitas dan Elektabilitas: Adil Patu bersaing Ketat Supomo Guntur Popularitas dan Elektabilitas. Hasil Survei calon walikota makassar:( 1. Adil Patu (P) 81,25 %  (E) 16,11 %.) - (2. Supomo Guntur (P) 79.50 %  (E) 15,85 %) - (3. Idris Manggabarai (P) 81,50 %  (E)  10.10 %) - ( 4. Rusdin Abdullah (P) 76,35 %   (E)  8,45 %) - (5. Apiati Aminsyam (P) 61,00 %  (E)  5,23 %) - ( 6. Yagkin Padjalangi (P) 57,25 %  (E)  5,10 %) - ( 7. Anis Kama (P) 55,75 %  (E)  4,19 %) - (8. Dewi YL (P) 55,50 %  (E)  4,10 %) - ( 9. Busrah Abdullah (P) 72,50 %  (E)  4,04 %) - (10. Andri Arief Bulu (P) 54,80 %  (E)  3,48 %) dan yang belum menjawab: (E) 15,35 %.'' ( (E) 8,0 % sisanya; terbagi kekandidat yang lainnya; yang elektabilitasnya. dibawah 2 % ).''
Menurut Direktur Eksekutif (IPI) Indeks Politica Indonesia' Suwadi Idris Amir' kami mencoba membuat pertanyaan  simulasi pasangan paket dengan empat kategori untuk mengukur tingkat keinginan pemilih dimakassar' dan Hasilnya, Kategori: Paket - politis dan birokrat: 30 %. '' Kategori: Paket - Pria da Perempuan 27 %.'' Kategori: Paket - Pengusaha dan Birokrat: 22 %.'' dan Kategori: Paket - Pengusaha dan Politisi 15 %.'' dan hanya: 6 % Tidak menjawab.''

Menurut Suwadi, mengapa masih didominasi muka lama karna pemilih di makassar sangat hati-hati dengan figur pendatang baru, oleh karna itu bakal calon walikota yang notabenya muka baru harus mampu meyakinkan masyarakat makassar melalui pendekatan langsung dan mengusung program yang menarik dan rasional.''

Lanjut menurut suwadi, sedangkan hasil simulasi Ketegori Paket: kenapa pemilih dimakassar cenderung memilih Paket - Politisi dan Birokrat; karna menurut pemilih lebih berpengalaman kalau memimpin kota sekelas makassar.''

Survei ini dilaksanakan dari tgl. 8-20 juni 2012, dengan jumlah responden 680 orang yang tersebar diseluruh kecamatan dikota makassar' dengan menggunakan metodologi multistage random sampilng acak berjenjang' wawancara tatap muka menggunakan kosuener dan mengawal dengan manejemen Quality Control dan witness untuk menjaga validitas data kami' tingkat kepercayaan survei kami 95 % dan margin of error 2,8 %. ungkap suwadi.''(din/jar)(Jumat/22/6/2012)


0 komentar:

Posting Komentar