Gelombang
reformasi telah merombak sistem demokrasi di Indonesia secara
fundamental. Salah satunya adalah perubahan mendasar yang terjadi pada
sistem pemilu di Indonesia. Sistem pemilu yang sebelumnya menggunakan
sistem pemilu tidak langsung (perwakilan) dirombak menjadi pemilu
langsung. Yaitu pemilu dengan sistem “one man one vote” (satu orang satu
suara). Amandemen konstitusi mengamanatkan agar pemilihan pejabat
publik (DPRD, DPR dan DPD) serta Presiden dan Wakil Presiden dipilih
secara langsung oleh rakyat. Aturan pelaksanaan pemilu untuk memilih
anggota DPRD, DPR dan DPD tersebut dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2003. Sementara itu, aturan pelaksanaan pemilihan presiden dan
wakil presiden dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003
tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Perombakan
sistem pemilu tidak hanya terjadi di tingkat nasional (presiden dan
wakil presiden) tetapi juga terjadi pada pemilu tingkat lokal.
Konstitusi hasil amandemen kedua mengamanatkan agar pelaksanaan
pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) juga dilakukan
secara langsung. Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa gubernur,
bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan propinsi,
kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Kata demokratis ini oleh
pemerintah diterjemahkan sebagai pemilihan secara langsung. Aturan
pelaksanaan konstitusi ini kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Sejak saat itu, pemilihan
gubernur, bupati dan walikota di seluruh Indonesia dilakukan secara
langsung.
Menurut
Undang-Undangan Nomor 32 Tahun 2004 ini persyaratan pencalonan kepala
daerah hanya bisa bisa dilakukan oleh partai politik atau gabungan
partai politik yang memenuhi persyaratan. Persyaratan
pencalonan ini kemudian mendapat banyak protes dari masyarakat. Salah
satu bekas calon kepala daerah yang gagal memenuhi persyaratan
pencalonan kemudian melakukan gugatan judicial review terhadap
beberapa pasal yang menyangkut persyaratan pencalonan Pilkada ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut penggugat beberapa pasal dalam UU
No.32 tahun 2004 dianggap menghilangkan makna demokrasi sebagaimana
diamanatkan oleh UUD 1945. Hal ini dikarenakan pasal-pasal tersebut
hanya memberikan hak kepada parpol atau gabungan parpol dalam
mengusulkan dan atau mengajukan pasangan calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah. Namun disisi lain tidak memberikan peluang bagi pasangan
calon perseorangan.
Keputusan MK mengabulkan gugatan judicial review terhadap beberapa pasal yang menyangkut persyaratan pencalonan Pilkada. Melalui
keputusan No 5/PUU-V/2007, MK menganulir UU 32/2004 pasal 56, 59 dan 60
tentang persyaratan pencalonan kepala daerah. Menurut MK, ketentuan UU
No 32 Tahun 2004 yang menyatakan hanya partai atau gabungan parpol yang
dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah, bertentangan dengan
Undang-undang Dasar 1945. Dengan kata lain keputasan MK ini membuka
babak baru bagi Pilkada di Indonesia yakni dengan diperbolehkannya calon
perseorangan maju dalam Pilkada.
Untuk
menindaklanjuti keputusan MK tersebut kemudian DPR melakukan revisi
terbatas terhadap UU 32/2004 dan menerbitkan UU Nomor 12 Tahun 2008.
Dalam undang-undang ini diatur secara rinci tentang berbagai persyaratan
yang harus dipenuhi oleh calon perseorangan. Pasal 59 Ayat (1) UU Nomor
12 Tahun 2008 menyatakan bahwa salah satu persyaratan yang harus
dipenuhi oleh calon perseorangan adalah berupa berupa bukti sejumlah
dukungan dari masyarakat. Secara teknis bentuk dukungan resmi dari
masyarakat ini dibuktikan melalui fotokopi kartu tanda penduduk (KTP).
Persyaratan Jumlah Dukungan
Calon Perseorangan
|
Jumlah Penduduk
|
Dukungan Minimal
|
Gubernur
|
s.d 2 juta jiwa
2 – 6 juta jiwa
6 – 12 juta jiwa
> 12 juta jiwa
|
6,5%
5%
4%
3%
|
Bupati/walikota
|
s.d 250 ribu jiwa
250 ribu – 500 ribu jiwa
500 ribu – 1 juta jiwa
> 1 juta jiwa
|
6,5%
5%
4%
3%
|
Kehadiran
calon perseorangan dalam pilkada ini memunculkan berbagai pandangan di
masyarakat. Sebagian kalangan merasa khawatir dengan kehadiran calon
perseorangan. Menurut mereka kehadiran calon perseorangan akan merusak
sistem demokrasi kepartaian di Indonesia. Kehadiran calon perseorangan
dianggap akan mengancam eksistensi partai politik sebagai pilar utama
sistem demokrasi di Indonesia. Dengan bahasa lain, kehadiran calon
perseorangan adalah sebagai salah satu bentuk dari proses pengurangan
peran partai politik (deparpolisasi) di Indonesia.
Sementara
itu, sebagian kalangan yang lain menyambut gembira atas kehadiran calon
perseorangan ini dalam Pilkada. Kehadiran calon perseorangan ini justru
dianggap sebagai salah satu solusi untuk memperbaiki sistem demokrasi
yang telah dirusak oleh elit partai politik. Kehadiran calon
perseorangan dianggap bisa mengurangi ekses negatif dari oligarkhi
partai politik yang berlebihan. Kehadiran calon perseorangan ini juga
dianggap bisa berdampak pada menurunnya praktik-praktik politik uang (money politics) yang terjadi dalam proses pencalonan di Pilkada.
Ditengah
memburuknya citra partai politik di mata masyarakat, calon perseorangan
yang maju dalam Pilkada sebenarnya memiliki kesempatan yang besar
meraih simpati masyarakat dan memenangkan Pilkada. Tetapi mengapa sejauh
ini masih sangat sedikit Pilkada yang dimenangkan oleh calon
perseorangan? Pilkada justru banyak dimenangkan oleh calon yang didukung
oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dan sebagian besar
calon yang didukung oleh partai politik dan menang tersebut adalah
berasal dari pejabat yang sedang berkuasa (incumbent).
Ada beberapa sebab mengapa bakal calon perseorangan sering gagal memenangkan Pilkada. Pertama,
jalur perseorangan selama ini hanya dijadikan jalur “keterpaksaan” atau
jalur “skoci” oleh bakal calon Pilkada. Jalur perseorangan terpaksa
dipilih oleh bakal calon karena setelah mereka melakukan loby-loby dan deal-deal
politik yang menguras energi, waktu dan dana ternyata tidak ada satu
pun partai yang mau memberikan tiket kepadanya. Bakal calon yang gagal
mendapatkan tiket pencalonan dari partai hanya punya dua pilihan; mundur
atau maju melalui jalur perseorangan. Dan disadari atau tidak,
kegagalan mendapatkan tiket pencalonan dari partai tersebut memiliki
dampak psikologis pada bakal calon perseorangan. Yang pada gilirannya berpengaruh pada semangat bertanding dari bakal calon perseorangan
Kedua, jalur perseorangan selama ini lebih banyak dipakai oleh bakal calon yang kurang pontesial. Jalur perseorangan banyak dipakai oleh pemain-pemain “penggembira” saja. Sementara
pemain-pemain “utama” sudah “kontrak” oleh partai-partai politik. Hal
ini bisa dipahami karena partai-partai yang memiliki tiket pencalonan
tentu hanya memilih bakal calon yang memiliki peluang paling besar
memenangkan Pilkada. Apalagi kini partai-partai politik sudah
menggunakan instrumen survei untuk melihat siapa diantara bakal calon
yang paling berpeluang memenangkan Pilkada. Dengan instrumen survei ini,
peta politik di wilayah tersebut menjadi tergambar secara jelas.
Ketiga,
adanya kesalahan strategi pemenangan yang diterapkan oleh bakal calon
perseorangan. Kesalahan strategi pemenangan ini sebenarnya juga tidak
dimonopoli oleh bakal calon perseorangan saja tetapi juga banyak
dilakukan oleh bakal calon dari partai politik. Hal yang paling mendasar
dari kesalahan penggunaan strategi pemenangan adalah bakal calon tidak
memilik grand design strategi pemenangan. Salah satunya,
misalnya, bakal calon perseorangan sering betarung hanya bermodalkan
naluri dan asumsi. Mereka tidak menggunakan metode-metode ilmiah untuk
mempengaruhi pemilih. Mereka juga tidak memiliki data peta politik yang
valid yang diperoleh secara ilmiah seperti survei di wilayah tersebut.
Sehingga yang terjadi mereka seperti bertempur di tengah hutan tapi tidak mengenal medan pertempuranya. Padahal seperti yang dikatakan oleh Sun Tzu, tokoh klasik strategi perang, bahwa; ”Kenali
Diri Sendiri, Kenali Lawan; Maka Kemenangan Sudah Pasti Ada di Tangan.
Kenali Medan Pertempuran, Kenali Iklim; Maka Kemenangan Akan Sempurna”.
Sebenarnya
bila ada grand design strategi pemenangan yang tepat, bakal calon
perseorangan memiliki kesempatan yang besar untuk memenangkan Pilkada.
Karena berdasarkan pengalaman studi perilaku pemilih di berbagai wilayah
di Indonesia menunjukan bahwa kini terjadi pergeseran perilaku politik
pemilih. Pemilih sekarang
cenderung bersikap lebih otonom dari partai politik. Sikap politik
pemilih tidak selalu sebangun dengan sikap politik elit partai politik.
Bisa kebijakan partai politik menyatakan mendukung calon si A tapi
masyarakat tetap mendukung si B. Hal ini terbukti di berbagai Pilkada
dan pemilu presiden di Indonesia. Calon yang didukung oleh partai besar
ternyata kalah oleh calon yang didukung oleh partai-partai gurem atau
calon perseorangan.
Selain
itu, biaya politik pencalonan melalui jalur perseorangan relatif lebih
murah dibanding pencalonan menggunakan jalur partai. Logikanya, dengan
semakin murahnya ongkos politik dalam proses pencalonan ini akan sedikit
banyak menekan timbulnya korupsi dalam pemerintahan. Disisi lain,
pemenang Pilkda yang menggunakan jalur perseorangan tidak akan merasa
tersandera oleh deal-deal politik dengan partai politik. Sehingga
pejabat yang menang melalui jalur perseorangan akan lebih merdeka dalam
menyalurkan idealismenya dalam membangun wilayahnya. Dalam jangka
panjang, dengan semakin banyaknya calon yang menang melalui jalur
independen maka akan semakin meningkatkan kualitas demokrasi di
Indonesia.''(Jumat/22/6/2012. Direktur Eksekutif ISPP Institute Survei Perilaku Politik' Dendi Susianto)
MAKASSAR - BAROMETER RAKYAT NEWS: Hasil
survei terbaru (IPI) Indeks Politica Indonesia Dikota Makassar untuk
bakal calon walikota' menggambarkan masih didominasi muka lama untuk
tingkat' Popularitas dan Elektabilitas: Adil Patu bersaing Ketat Supomo
Guntur Popularitas dan Elektabilitas. Hasil Survei calon walikota
makassar:( 1. Adil Patu (P) 81,25 % (E) 16,11 %.) - (2. Supomo Guntur
(P) 79.50 % (E) 15,85 %) - (3. Idris Manggabarai (P) 81,50 % (E)
10.10 %) - ( 4. Rusdin Abdullah (P) 76,35 % (E) 8,45 %) - (5. Apiati
Aminsyam (P) 61,00 % (E) 5,23 %) - ( 6. Yagkin Padjalangi (P) 57,25 %
(E) 5,10 %) - ( 7. Anis Kama (P) 55,75 % (E) 4,19 %) - (8. Dewi YL
(P) 55,50 % (E) 4,10 %) - ( 9. Busrah Abdullah (P) 72,50 % (E) 4,04
%) - (10. Andri Arief Bulu (P) 54,80 % (E) 3,48 %) dan yang belum
menjawab: (E) 15,35 %.'' ( (E) 8,0 % sisanya; terbagi kekandidat yang lainnya; yang
elektabilitasnya. dibawah 2 % ).''
Menurut Direktur Eksekutif (IPI) Indeks Politica Indonesia' Suwadi Idris
Amir' kami mencoba membuat pertanyaan simulasi pasangan paket dengan
empat kategori untuk mengukur tingkat keinginan pemilih dimakassar' dan
Hasilnya, Kategori: Paket - politis dan birokrat: 30 %. '' Kategori:
Paket - Pria da Perempuan 27 %.'' Kategori: Paket - Pengusaha dan
Birokrat: 22 %.'' dan Kategori: Paket - Pengusaha dan Politisi 15 %.''
dan hanya: 6 % Tidak menjawab.''
Menurut Suwadi, mengapa masih didominasi muka lama karna pemilih di makassar sangat hati-hati dengan figur pendatang baru, oleh karna itu bakal calon walikota yang notabenya muka baru harus mampu meyakinkan masyarakat makassar melalui pendekatan langsung dan mengusung program yang menarik dan rasional.''
Lanjut menurut suwadi, sedangkan hasil simulasi Ketegori Paket: kenapa pemilih dimakassar cenderung memilih Paket - Politisi dan Birokrat; karna menurut pemilih lebih berpengalaman kalau memimpin kota sekelas makassar.''
Surve IPI; Calon walikota Makassar Masih Didominasi Muka Lama.''
Menurut Suwadi, mengapa masih didominasi muka lama karna pemilih di makassar sangat hati-hati dengan figur pendatang baru, oleh karna itu bakal calon walikota yang notabenya muka baru harus mampu meyakinkan masyarakat makassar melalui pendekatan langsung dan mengusung program yang menarik dan rasional.''
Lanjut menurut suwadi, sedangkan hasil simulasi Ketegori Paket: kenapa pemilih dimakassar cenderung memilih Paket - Politisi dan Birokrat; karna menurut pemilih lebih berpengalaman kalau memimpin kota sekelas makassar.''
Survei ini dilaksanakan dari tgl. 8-20 juni 2012, dengan jumlah
responden 680 orang yang tersebar diseluruh kecamatan dikota makassar'
dengan menggunakan metodologi multistage random sampilng acak
berjenjang' wawancara tatap muka menggunakan kosuener dan mengawal
dengan manejemen Quality Control dan witness untuk menjaga validitas
data kami' tingkat kepercayaan survei kami 95 % dan margin of error 2,8
%. ungkap suwadi.''(din/jar)(Jumat/22/6/2012)
0 komentar:
Posting Komentar