|
JELANG penyelenggaraan acara Publish Asia 2012,
gelaran Asosiasi Surat Kabar dan Penerbit Sedunia (WANIFRA), di Nusa
Dua, Bali, 10-12 April, ada kabar menyenangkan bagi para pegiat industri
koran tanah air. Hasil survei Edelman Trust Barometer 2012 di Indonesia
menunjukkan, tingkat kepercayaan publik terhadap informasi dari media
massa yang ada di Indonesia mencapai 80 persen. Itu adalah tingkat
kepercayaan publik tertinggi jika dibandingkan dengan hasil survei di 24
negara lain. Bahkan, angka tersebut jauh melampaui tingkat kepercayaan
media di mata masyarakat dunia secara umum, yang hanya 53 persen, juga
di atas angka Asia Pasifik yang mencapai 63 persen.
Edelman Trust Barometer adalah survei global tahunan
yang diadakan sejak 12 tahun silam dengan melibatkan 30 ribu responden
di 25 negara. Termasuk negara yang disurvei adalah Tiongkok, Hongkong,
India, Jepang, Korea Selatan, Australia, Malaysia, dan Singapura. Di
Indonesia sendiri, penyelenggaraan survei Edelman adalah yang keempat.
Yang menarik, survei yang juga mengukur kredibilitas terhadap
pemerintah, LSM, dan dunia usaha itu juga mencatat bahwa kepercayaan
publik atas informasi dari koran mengalami peningkatan 15 persen jika
dibandingkan dengan periode sebelumnya. Kini mencapai 44 persen.
Sementara itu, mesin pencari Google, salah satu sumber informasi di
internet, dipercayai 31 persen responden. Sedangkan terhadap informasi
dari jejaring media sosial, termasuk Facebook dan Twitter, 18 persen
responden yang percaya.
Berdasar survei itu
pula, koran tercatat 48 persen masih lebih dipercaya jika dibandingkan
dengan media konvensional lain. Sebagai pembanding, responden yang
percaya informasi dari TV dan radio masing-masing 45 persen dan 30
persen saja. Yang tak kalah menarik adalah data temuan mutakhir lembaga
riset berbasis di Australia, yakni Roy Morgan. Dalam survei kepembacaan
koran di 20 kota utama dan 22 kota sekitarnya di 16 provinsi
se-Indonesia, terlihat lesunya bisnis koran di Jabodetabek –konon
sebagai dampak turunnya kepembacaan hingga minus 12 persen selama
setahun terakhir– ternyata justru bertolak belakang dengan yang terjadi
di Provinsi Jatim dan luar Jawa.
Di Jatim,
misalnya, angka kepembacaan koran selama setahun terakhir justru
bertumbuh 50,7 persen. Meningkat menjadi 5,2 juta dari semula 3,4 juta
orang. Bahkan, rerata angka pertumbuhan kepembacaan koran di Provinsi
Sumut, Riau, Sumbar, Sumsel, Lampung, dan Sulsel tercatat berlipat 186
persen. Pertumbuhan kepembacaan di daerah-daerah itu mengindikasikan
berkembangnya minat baca publik. Artinya, ada kebutuhan dari masyarakat
atas informasi, berita, dan pesan yang tepercaya. Di sini, angka
kepercayaan masyarakat terhadap media menjadi relevan. Sebab, survei
Edelman menemukan, lebih dari separo responden di Indonesia, yakni 61
persen, bersikap skeptis atas informasi.
Maksudnya,
mereka tak mudah percaya informasi begitu saja. Baru setelah
mendapatkan informasi yang sama berulang sebanyak tiga sampai lima kali,
responden mulai percaya akan kebenaran informasi tersebut.
Dengan
demikian, ketika koran di daerah tersebut mampu meraih angka share
kepembacaan yang terus naik, bahkan di atas 90 persen, bisa disimpulkan
telah terjadi simbiosis mutualisme antara publik dan koran.
Dalam
hal ini, meningkatnya kepercayaan publik terhadap koran seperti temuan
survei Edelman menjadi terkonfirmasi. Tak pelak, angka-angka survei itu
sekaligus membuktikan bahwa koran di berbagai daerah di Indonesia
ternyata masih mampu mengambil peran penting. Yakni, sebagai sumber
informasi tepercaya di tengah ketersediaan informasi online digital yang
menawarkan kepraktisan aksesibilitas di mana pun, kapan pun, memakai
perangkat apa pun.
Tidak seperti anggapan lama,
ternyata ketersediaan banyak pilihan secara mudah dan kemudahan akses
memilih yang tersedia justru malah membikin konsumen bingung. Kian
banyak opsi justru adalah faktor pendistraksi.
Maka,
dalam suasana gaduh, berisik, dan karut-marut begitu, yang dibutuhkan
adalah media yang lebih tepercaya. Yang beriktikad menyortirkan pesan
yang membanjir. Memilahkan mana yang berkah dari limbah pesan sampah.
Mencarikan substansi makna yang relevan dari pesan yang beraneka.
Membedakan mana pesan yang berpengaruh dari yang sekadar bebunyian
gaduh. Itu sejalan dengan spirit penyelenggaraan ajang konvensi tahunan
Publish Asia 2012 di Nusa Dua, Bali, yang tahun ini bertema Shaping the
Future of News Publishing.
Di ajang konvensi
media internasional yang akan dihadiri lebih dari 600 eksekutif Asia
Pasifik dan Timur Tengah itu, akan dibahas studi kasus keberhasilan
penerbit di berbagai negara, yang sukses berinovasi strategis, sehingga
menjadikan medianya tetap relevan dan berfaedah bagi masyarakat.
Penentu
masa depan keberhasilan media untuk survive bahkan makin eksis, mungkin
memang bukan sekadar kecanggihan teknologi aksesibilitas dan
konektivitas. Melainkan, justru ditentukan kemampuan media sendiri,
merelevansikan fungsi dan perannya.
Misalnya,
menjadikan makna aspek kultur, tradisi, serta ikatan psikologis dan
emosional masyarakat sebagai bagian dari kekuatannya untuk
beraktualisasi dan berkembang dengan melibatkan peran serta publik.
Termasuk, mengoptimalkan isu lokal, unsur kelokalan, dan aspek lokasi.
Kemampuan
media merelevansikan diri juga tak sekadar bermakna kesanggupan media
menjelma menjadi seperti yang dibutuhkan masyarakatnya. Namun juga
bagaimana media mampu menyediakan kefaedahan dengan mendorong
peningkatan kualitas dan pemberdayaan kehidupan publik sekitar.
Dengan
kata lain, kemampuan penerbit koran mengoptimalkan potensi pertumbuhan
kepembacaan dan minat baca di berbagai pelosok wilayah Nusantara adalah
aspek penentu untuk menjadikannya, bisa makin menjadi tuan di wilayah
rumah mereka sendiri. Temuan survei Morgan tentang tetap tak
tertandinginya koran-koran berpenyebaran di daerah dengan share
kepembacaan hampir 100 persen –misalnya termasuk Jawa Pos Surabaya,
Suara Merdeka Semarang, Solo Pos di Surakarta, Kedaulatan Rakyat di DI
Jogjakarta, atau Padang Ekspres di Sumatera Barat– adalah bukti hal itu.
Semoga capaian koran-koran tersebut bisa menginspirasi media lain di
Indonesia.(*)
|
0 komentar:
Posting Komentar